Langsung ke konten utama

Refleksi Maulid


Pada setiap bulan Rabiul Awwal umat Islam memperingati mauled Nabi Muhammad SAW. Eksistensi Muhammad sebagai Rasul penyebar ajaran Islam merupakan fakta sejarah dan diakui secara mutawatir oleh semua pakar sejarah Islam baik dari kalangan muslim (oksidentalis) maupun non muslim (orientalis). 

Data-data terkait dengan hari, tanggal, bulan, tahun dan daerah dimana Rasulullah dilahirkan adalah akurat. Tidak ada nash-nash shorih (teks wahyu yang denotatif) yang memerintahkan umat Isam memperingati hari kelahiran Rasulullah. Namun, nash-nash wahyu memerintahkan umat Islam untuk beriman, memuliakan, menolong dan mengikuti ajaran yang didakwahkan oleh Rasulullah (QS. Al A’raf : 157) dan membaca shalawat untuknya (QS. Al Ahzab : 56). Oleh Karena itu, menempatkan Rasulullah sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati adalah sesuatu yang logis. Memperingati maulid adalah indikator dari cinta dan hormat kepadanya.

Peringatan maulid memiliki kedudukan istimewa di hati komunitas Muslim Indonesia. Peringatan maulid adalah sattu-satunya peringatan hari besar Islam yang diselenggarakan di istana Negara. Adalah presiden RI pertama, Soekarno, yang berwasiat kepada siapapun yang menjadi presiden di masa mendatang agar selalu menyelenggarakan peringatan maulid di istana Negara. (Hamim T, 2004)

Wasiat Soekarno adalah wasiat yang mendahului  zaman, sebab pada zaman itu masih terdengar nyaring pro-kontra tentang maulid. A. Hasan, Persis Bangil, KH. Sirajuddin Abbas, KH. Moenawar Cholil, dan KH. Hasyim Asy’ari adalah representasi ulama yang terlibat dalam dialektika perdebatan itu. Bahkan KH.Hasyim Asy’ari menulis kitab khusus tentang maulid yang berjudul Al-Tambihat al-Wajibat (Tebuireng, Maktabah al-Turats al-Islami). Perdebatan tokoh-tokoh Islam Indonesia itu adalah imbas dari perdebatan tokoh-tokoh Islam klasik di Timur Tengah.

Thoha Hamim, cendekiawan tangguh dari lulusan UCLA Los Angeles  dan McGill University Montreal, dan saat ini masih tercatat sebagai dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya menyatakan, perdebatan intelektual tentang peringatan maulid dibuka oleh Jalaluddin al-Suyuthi, ulama besar dari madzhab Syafi’I, ketika ia menuis kitab Husn al-Maqsid fi ‘Amal a-maulid (Cairo, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah). Isinya menjustifikasi peringatan maulid sebagai amaliyah yang baik dan tidak bertentangan dengan syari’at. Karya itu mendapat reaksi dari al-Fakihani, ulama besar dari madzhab Maliki dengan menulis kitab tandingan yang berjudul al-Mawrid fi Kalam ‘ala al-Mawlid.

Awal tahun 1990-an, perdebatan tentang masalah mikro keagamaan (juziyah) termasuk tentang peringatan maulid, mereda. Umat Islam Indonesia memiliki wawasan dan kedewasaan berpikir serta budaya demokrasi yang kian subur. Mereka sadar harus memprioritaskan masalah keagamaan yang universal (ushuli), urgen dan berdaya manfaat yang menyeluruh untuk bangsa dan negara seperti peningkatan SDM daripada berdebat tentang masalah khilafiyah seperti maulid.

(to be continued)

Sumber : 
- M. Sholehuddin, S.Ag. M.Ag, Dua Teori Tentang Maulid Nabi, Mimbar
- Thoha Hamim, Islam dan NU dibawah Tekanan Problematika Kontemporer, 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal-usuL Hajar Aswad

Ketika Nabi Ibrahim a.s bersama anaknya  Ismail a.s. membangun Ka'bah, mereka merasa ada banyak kekurangan di dalamnya. Pada mulanya Kaabah itu tidak mempunyai ruang dan pintu masuk. Kemudian Nabi Ibrahim a.s bersama Nabi Ismail menyempurnakan bangunannya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung.